GRIEF

"Aku udah lama lost contact sama sahabatku waktu SMP, padahal dulu selalu bareng."
"Aku udah gak pacaran lagi sama dia."
"Aku kena penyakit parah. Gak ada yang bakal suka denganku."
"Kakekku meninggal."
"Aku cedera parah, gak mungkin ikut lomba lagi."
"Disini tidak ada kolam, aku gak bisa latihan renang lagi."
"Motorku dicuri orang."
"Aku gak pernah menyangka aku bakal begini. Aku sampai gak kenal aku dulu orangnya gimana."

Kehilangan.
Duka.
Dan bentuk-bentuk sedih lainnya.

Aku, kamu, kita, semua pernah merasakan kehilangan. 
Dalam bentuk apapun, dalam nama apapun, dalam wujud apapun.
Tapi, cara kita merasakan dan menyikapinya bisa saja berbeda. Tidak hanya itu, waktu yang terpakai saat terjatuh dalam perasaan itu pun bisa berbeda. Ada yang sebentar, ada yang lama. 

Aku pernah membaca cerita beberapa orang di salah satu platform media sosial. Disana ada salah satu orang yang memulai cerita tentang kehilangan salah satu anggota keluarga karena meninggal dunia. Singkat cerita, dia bilang bahwa dia tidak menangis saat momen kehilangan itu datang. Lalu, ada balasan dari orang lain yang juga mengungkapkan bahwa dia tidak menangis pada waktu mengantarkan mayat keluarganya ke kuburan dan selama pengurusan pemakaman. Tapi dia menangis ketika sudah kembali ke perantauannya, di kamar kosnya. Ada pula yang bercerita bahwa dia tidak bisa menahan tangis berhari-hari sejak berita kematian sampai padanya. 

Dari ketiga cerita itu, mungkin bisa saja kita beranggapan bahwa seseorang yang tidak menangis itu heartless, atau beranggapan bahwa yang menangis berhari-hari itu hatinya sangat lembut. Padahal kita tidak tahu bagaimana hati dan pikiran mereka yang sesungguhnya.

Five Stages of Grief. Ada 5 fase yang kita alami saat berduka menurut The Kübler-Ross Model.
1. Denial (Penolakan)
2. Anger (Marah)
3. Bargaining (Tawar Menawar)
4. Depression (Depresi)
5. Acceptance (Penerimaan)

“Not everyone will experience all five stages, and you may not go through them in this order,” writes author Kimberly Holland in a Healthline article medically reviewed by Timothy J. Legg, Ph.D., PsyD, CRNP, ACRN, CPH. Kimberly adds “Grief is different for every person, so you may begin coping with loss in the bargaining stage and find yourself in anger or denial next. You may remain for months in one of the five stages but skip others entirely.”


Kita bisa saja mengalami semua fase, atau cuma beberapa fase, atau mengalami fase yang berulang-ulang. Jadi, tidak seharusnya juga mengukur bahkan menghakimi seberapa kuatkah atau lemahkah seseorang atau bahkan diri kita sendiri saat sedang berduka. 

Tolong jangan salahkan orang yang memilih untuk langsung bangkit dan lanjut bekerja walau dia baru saja kehilangan ibunya yang meninggal dunia. Atau menyalahkan orang yang memilih untuk mengambil cuti dulu, lalu kembali bekerja saat dia merasa sudah lebih baik.

Tolong jangan salahkan orang yang langsung mendapatkan pengganti ketika dia baru beberapa bulan bercerai dengan mantan suaminya. Atau menyalahkan orang yang memilih untuk tidak menikah lagi seumur hidupnya.

Bahkan.... Tolong jangan salahkan dirimu sendiri. 
Atas apa yang kamu rasakan saat berduka. 
Atas berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk berduka. 
Atas pilihan yang kamu ambil untuk menyikapi duka tersebut.

Untuk yang sedang berduka, tidak apa-apa sedih, tidak apa-apa marah, tidak apa-apa menangis, tidak apa-apa langsung move on, tidak ada apa-apa mengalami mood swing, tidak apa-apa tidak mau ketemu orang-orang dulu, tidak apa-apa sibuk bertemu orang-orang untuk mengalihkan kesedihanmu. 

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. 
Bentuk-bentuk perasaan ada karena memang untuk dirasakan, kan?

Aku berdoa semoga selalu ada kekuatan sekecil apapun yang bisa menopang dan membantu untuk kembali bangkit dari duka cita yang melanda. 

Mari pelan-pelan kuat bersama yuk. 

(((Salma is sending virtual hug)))



Sumber bacaanhttps://themindsjournal.com/kubler-ross-model-grief/





Comments